In Memoriam Mgr. Bumbun: “Cinta tidak Dicintai”

In Memoriam Mgr. Bumbun: “Cinta tidak Dicintai”

Tahbisan Imam dan Uskup

Kabar duka datang dari Rumah Sakit St. Antonius, Pontianak, Senin, 30 September 2024, sekitar pukul 21.15 Waktu Indonesia Barat, Monsinyur Herculanus Hieronymus Bumbun OFM Cap., Uskup Emeritus Keuskupan Agung Pontianak,  dipanggil menghadap Yang Maha Kuasa.  Memang sejak beberapa hari terakahir kesehatan beliau menurun.

Sungguh mengagumkan, beliau meninggal di hari yg sangat special, Hari Raya Peringatan Wajib St. Hieronimus tanggal 20 September.

Bumbun sebagai Kapusin Muda

Mengutip situs katolikpedia, beliau ditahbiskan sebagai imam Kapusin (OFM Cap) tanggal 27 Juli 1967. Tanggal 19 Desember 1975 ditunjuk sebagai Uskup Auksilier Keuskupan Agung Pontianak. Tanggal 27 Mei 1976 ditahbiskan sebagai Uskup Tituler Capra dan tanggal 26 Februari 1977 dilantik sebagai Uskup Agung Keuskupan Agung Pontianak. Tahun 1982 sampai 1990 ditunjuk sebagai Administrator Apostolik Keuskupan Sanggau. Pada 3 Juni 2014, Mgr. Bumbun mengundurkan diri dan digantikan oleh Mgr. Agustinus Agus.

Ketika menjabat sebagai Uskup Agung Pontianak beliau mengemban tugas penting dalam memperkuat kemandirian Gereja Katolik di Indonesia, khususnya Kalimantan Barat. Mgr. Bumbun adalah uskup dari suku Dayak pertama di dunia. Banyak jasa beliau untuk gerakan sosial dan ekonomi di Kalimantan Barat melalui berbagai karya Gereja Katolik dalam bidang pendidikan, Kesehatan, organisasi sosial, budaya dan sebagainya.

Bumbun dari Keluarga Terpandang

Dalam buku “Kenangan Abadi Mgr.Hieronymus Bumbun OFM Cap di Kampung Semadu”, yang ditulis Paulus Florus dan diterbitkan Penerbit SANDU gtahun 2022, dijelaskan bahwa Bumbun lahir di Kampung Menawai Tekam,  putera ke-7 dari 17 bersaudara. Ayahnya Bernama Pius Ria Ensoh dan Ibunya bernama Veronika Unsai.

Menurut Florus, Bumbun memang berasal dari keluarga terpandang di kampung Menawai Tekam. Pada awal perkenalan agama katolik ke daerah Mualang, tahun 1943, Pastor Donatus Dunselman, O.F.M.,Cap. mengunjungi Menawai Tekam, dan kemudian menuliskan cacatan singkat terkait silsilah Mgr. Bumbun  “…saya masih ingin memper-kenalkan kepala kampung lama dari Menawai Tekam. Dia sekarang sudah pensiun. Tetapi sebelumnya pegang gelar hebat: Petinggi Muda, Tali Bicara, yaitu Kepala Muda, ikatan perundingan-perundingan; dengan kata lain: Dia yang memegang pemerintahan.  Dia bapa dari 9 anak yang telah kawin, semua dari satu perkawinan dan anaknya tertua yang ganti dia sebagai kepala, telah punya 13 anak yang hidup.  Keluarga-keluarga ini semua katekumen kecuali satu yang Kristen Protestan.”

Catatan itu ditulis pada tahun 1949. Mungkin ketika menuliskan catatan itu, Pastor Donatus lupa nama Petinggi Muda itu, sehingga tidak disebutkan. Petinggi Muda, Tali Bicara yang dia maksudkannya adalah kakek moyang Mg. Bumbun. Sedangkan anak tertua penggantinya adalah Kakek dari Mgr. Bumbun, bernama Landai.

Bumbun bersekolah di Semadu mulai tahun 1943, dari kelas 1 sampai kelas tiga. Pada waktu itu, Sekolah Rakyat Semadu memang hanya ada kelas 1 sampai dengan kelas 3. Selanjutnya, oleh Pastor Donatus Dunselman, OFM.Cap., Bumbun dibantu untuk melanjutkan pendidikannya ke Nyarumkop, kelas 4 dan kelas 5. Selama di Nyarumkop  dia menumpang tinggal di rumah keluarga Jakobus Saman, Kepala Sekolah Rakyat Nyarumkop waktu itu.

Ketika kelas 6, dia dapat tinggal di asrama. Dia kemudian dibabtis menjadi Katolik di Nyarumkop pada tahun 1950 dengan nama Herculanus. Nama lengkapnya menjadi Hieronymus Herculanus Bumbun.

Patung Bumbun

Sebagai  bentuk penghargaan akan jasa besar Mgr. Bumbun, Masyarakat Menawai Tekam membangun sebuah patung perunggu dan ditempatkan di depan samping Gereja Katolik Santo Heronimus Menawai Tekam.

Gereja St. Heronimus dengan patung Heronymus di depannya

Itulah patung dari seorang Uskup Agung dengan pribadi yang sederhana, yang seluruh hidupnya diabdikan untuk mencintai sesama. Motto tahbisan uskupnya AMOR NON AMATUR, Cinta tidak Dicintai, tergambarkan juga pada patung di kampung ini: patung itu tidak menuntut untuk dicintai. Ia rela berdiri dalam kesunyian kampung Semadu. Itulah satu bukti bahwa  Mgr. Bumbun telah mewartakan iman yang hidup dan menjadi saksi bagaimana orang Dayak Mualang menerima Kristus.

Jalan ke kampung Semadu yang kebanjiran

Patung itu berdiri tenang seakan-akan mengingatkan siapa saja yang memandangnya untuk tidak takut akan kesunyian lingkungan. Dalam kesunyian Tuhan juga hadir. Dari kesunyian Semadu telah lahir cinta yang besar untuk kaum Mualang dan umat Kalimantan Barat.

SELAMAT JALAN MENUJU KEABADIAN YANG MULIA, MONSIGNOR HERONIMUS BUMBUN***

 

 

Mgr. Turang: Ada CU Yang Mesti Digergaji

Mgr. Turang: Ada CU Yang Mesti Digergaji

Credit union akhir-akhir ini semakin berkembang; di sisi lain masih ada credit union milik komunitas, paroki dan sebagainya yang stagnan pertumbuhannya. CU yang terus berkembang tersebut pun sebagian kecil ditengarai sebagian sudah mulai ada yang keluar dari nilai, prinsip dasar credit union dalam tata kelolanya. Padahal jika CU tersebut bangkrut maka anggotalah yang menjadi korbannya.

Menyadari hal tersebut, Komisi Pengembangan Sosial Ekonomi Konfrensi Waligereja Indonesia (PSE-KWI) sebagai inisiator masuknya CU ke Indonesia berinisiatif mengumpulkan para aktivis CU dari seluruh Indonesia.

Peserta lokakarya

Bertempat di Wisma Samadi, Klender Jakarta Timur tanggal 23-25 September 2024, Komisi PSE-KWI bekerja sama sejumlah universita Katolik (antara lain Widya Mandala Surabaya dan Atma Jaya Jakarta) mengadakan lokakarya bersama komisi PSE Keuskupan seluruh Indonesia, perwakilan CU primer, CU sekunder dan sekunder nasional. PUSKOPCUINA sebagai federasi nasional credit union yang diwakili Edi Petebang menghadiri kegiatan tersebut.

Menurut Pastor Eko dari Komisi PSE KWI, lokakarya ini bertujuan memperkuat aspek spiritualitas dan tata kelola credit union. Hari pertama berisi perkenalan dan kontrak belajar. Hari kedua berisi tentang filosofi dasar credit union yang disampaikan Mgr. Petrus Turang, uskup emeritus yang juga pernah Ketua PSE KWI. Mgr. Turang menekankan pentingnya spiritualitas dan focus dalam pengembangan CU. “CU harus focus memberdayakan, meningkatkan kualitas hidup anggota di suatu wilayah tertentu. Jika ada CU yang membuka cabang jauh dari wilayah awalnya dan tidak membawa perubahan peningkatan taraf hidup masyarakat disana tetapi sudah membuka kantor cabang kemana-mana, maka harus dihentikan, harus digergaji, di chainsaw,”ujarnya.

Materi lain adalah dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Direktorat Jendral Pajak, manajemen resiko dan konsultan pajak. Hari ketiga berisi tentang tata Kelola credit union sesuai standar gerakan CU Asia (ACCU) disampaikan oleh P. Fredy Rante Taruk, Direktur Karitas KWI. P. Fredy yang juga penasihat PUSKOPCUINA memaparkan nilai, filosofi dan beberapa hal teknis tentang tata Kelola credit union yang menyangkut 3 aspek utama: tata Kelola internal, tata Kelola individual dan tata Kelola eksternal. “Jika tata Kelola ini dilaksanakan dan dicapai secara maksimal, maka ada jaminan credit union akan sehat dan berkelanjutan,”jelasnya.

Dalam lokakarya ini pertama kalinya diperkenalkan modul pendidikan tentang spiritualitas credit ujion yang dipkrakarsai Komisi PSE KWI dan disusun oleh Pastor Antonius Sumarwan, SJ. Modul berisi 8 pokok bahasan ini mengajak dan menyadarkan kembali para aktivis credit union agar jangan melupakan nilai-nilai, prinsip, dan hal-hal mendasar dalam mengelola credit union.

Lokakarya menyepakati sejumlah hal terkait dengan tata Kelola credit union dan akan ada pertemuan-pertemuan lanjutan baik di KWI (nasional), tingkat keuskupan maupun paroki. Seemua pihak sepakat untuk terus mempraktikkan tata Kelola CU yang standar dengan Kembali pada spirit mengapa CU didirikan seperti yang disampaikan pendiri CU Fredrich William Raiffeisen.

Dalampertemuan30 orang yang ingin membentuk CU Raiffeisen menyatakan:“…Saya tidak bisa memberikan keajaiban yang akan membebaskan Anda dari kemiskinan tanpa Upaya dari Anda  sendiri. Tapi ada satu cara yang saya tidak tahu apakah orang bisa mengikutinya.Yakni, jika semua bekerja sama untuk kebaikan bersama, maka mereka akan dapat mencapai tujuan itu: kebebasan dari keinginan. Kita harus mulai dari prinsip dasar dengan meningkatkan kesejahteraan fisik dan kesejahteraan spiritual, juga akan mendapatkan keuntungan. Dengan memberikan pinjaman kepada anggota yang membutuhkan dan yang rajin di komunitas mereka. Mereka akan memampukan diri untuk menikmati buah dari hasil usaha dan melakukan penghematan, dari pada bekerja untuk kepentingan rentenir. Dengan cara ini, mereka akan terbebas dari segala bentuk bantuan dari luar, yang sesaat memang mengurangi penderitaan mereka. Namun semua itu membuat mereka akan Kembali lagi dalam kemiskinan tetapi dengan konsekuensi yang lebih pahit”.

Semoga para aktivis credit union senantiasa menyadari, menginternalisasi dan melaksanakan semangat dasar Gerakan credit union Raiffeisen.***

 

Menganjan, Penebusan Dayak Pesaguan

Menganjan, Penebusan Dayak Pesaguan

Penulis: Edi Petebang, putra Dayak Pesaguan

“Kalau kalian mau punya keturunan, pergilah mengayau ke Arut, Kalimantan Tengah, ke arah matahari terbit. Potong kepala Patih Arut. Bawa kepalanya utuh dan segar sebagai ganti kalian untuk tumbal menganjan,”perintah Ukat Bebodah kepada Sesulor dan Sesileh. Memotong garong Peristiwa ini selalu dikenang masyarakat Dayak Pesaguan yang menghuni daerah aliran sungai Pesaguan dan anak-anaknya di Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat dalam setiap ritual menganjan.

Menganjan adalah ritual agar arwah masuk ke serugo tujoh sebayan dalam (surga, bahasa Pesaguan). “Dalam ritual menganjan, masyarakat Dayak Pesaguan diingatkan akan pengorbanan jiwa raga orang Tuluyan yang selalu dijadikan tumbal dalam setiap ritual menganjan,”jelas Gemalo Nius, kepala adat kampung Serengkah Kanan (55 tahun).

Menganjan dilakukan pada saat kematian atau beberapa tahun kemudian. Jika saat kematian, maka menganjan dilakukan jika pembuatan sandung atau tambak telah selesai. Artinya butuh waktutiga atau empat hari. Tambak adalah bangunan bujur sangkar dengan ukiran motif di dindingnya yang diletakkan di pusara makam dan di bagian atasnya diberi atap.

Sandung tempat abu jenasah yang dibakar. Abu ini disimpan dalam tempayan kecil dan diletakkan di atas tiang belian berdiameter 20-30cm yang berukiran setinggi 3-4 meter. “Secara sederhana makna menganjan adalah ungkapankemenangan atas maut.Dengan menganjan dimaksudkan agar suasanaduka dalam masa berkabung diganti dengan suasanariang gembira.

Menganjan juga untuk melepaskansemacam ikatan yang disebut pantang pamali.Setelah menganjan orang yang berkabung boleh bersukaria, termasuk boleh menikah lagi,”jelas Nius yang memimpin seluruh prosesi menganjan.

Membersihkan “kepala” Menurut keyakinan orang Dayak Pesaguan arwahkeluarga yang meninggal tersebut dapat masuk kesebayantujoh serugo dalam,ke hujong ke penawaian, kesiu’ kependondaman, be’arai cetohu bayu,benasicetohu basi, beborascemenutu, bejolu cebekarang.

Artinya tempat dimana air tidak membusuk, nasi tidak pernah basi,beras tidak perlu menumbuk, dapat lauk-pauk tidak perluberburu; suatu tempat yang digambarkan sebagai tempatyang abadi, kebahagiaan kekal. Ritual menganjan yang terbaru terjadi di Kampung Serengkah Kanan, Kecamatan Tumbang Titi, Kabupaten Ketapang, 450 km Selatan Kota Pontianak tanggal 6-8 Juli 2012.

Warga mengambil buah jarau

Ada empat orang yang dikanjakan, yakni almarhum Gando Bakah Berandong Marsianus Silan, Salesta Ita, Petrus dan Dalmasius Itan. Silan adalah kepala adat kampung Serengkah Kanan selama sembilan tahun; sedangkan Ita, Petrus dan Itan adalah anaknya. Tuan rumah mengundang warga dari 9 kampung. Karena itulah, ribuan orang berkumpul di sana. Penulis mengikuti seluruh prosesi ritual ini.

Ritual inti menganjan dimulai dengan ritual memotong batang kayu garong. Sebanyak 20 orang wakil ansang (sebutan untuk tamu) memotong kayu garung yang dipasang melintang di tengahjalan di ujung kampong. Dentuman empat laras senapan lantak, letusan puluhan petasan, pekikan puluhan ansang menandai putusnya tiang pembatas ansang dan tuan rumah itu. Empat pasang penari datang menjemput ansangdan mengiringnya sampai ke tempat acara yang dinamakan tetarok.

Di sini para tamu dijamu dengan sirih pinang dan tuak, minuman beralkohol sekitar 25% yang terbuat dari beras ketan diberi ragi. Setelah para tamu (ansang) diterima di tetarok, dilaksanakan lagi sejumlah ritual menganjan. Sebelum tamu datang juga telah dilaksanakan serangkaian ritual. Ada 14 ritual yang dilaksanakan selama proses menganjan. Yakni (1). memberi makan tiang garong (2). membersihkan kepala kayau (3).pemberi makan roh-roh (4). dongeng asal-usul kanjan (5). penyerahan jarau (6). memotong garong (7). menyerahkan pelelawat (8).mengambil salib ke kuburan (9). memutus bulen (10). menebang jarau (11). mengembalikan salib ke kuburan (12). memotong kasau (13). bepalit parang beliung (14). piring beras.

Dari 14 prosesi ritual tersebut, yang paling menarik perhatian warga dan paling sakral adalah ritual menumang kepala, sangan sesulor sesileh, memotong garong dan memantang jarau. Menumang kepalaadalah membakar kepala di atas tungku tumang (tungku berkaki tiga). Jaman pengayauan dulu, yang dibakar kepala manusia hasil mengayau.

Meskipun orang Dayak Pesaguan tidak ada tradisi menga­yau, namun jika ada pengayau yang menyerang maka diadakan perlawanan untuk mem­bela diri. Kepala kayau merupakan simbol kemenangan. Kini karena tidak ada pengayauan lagi, maka yang dibakar buah kelapa hijau yang muda. Setelah ditumang, buah kelapa pengganti kepala itu diberi makan dengan seekor ayam, abu dingin, nasi dingin.

Selanjutnya buah kelapa itu diberi lobang, airnya dibuang diganti dengan tuak. Tuak di dalam batok kelapa ini diminum secara bergiliran kepada semua yang hadir. Selesai dipakai minum, kelapa muda ini dibung­kus dengan kain dari kulit kayu berwarna kuningdan dipegang sambil dibawa menari. Tarian ini disebut tari menimang kepala.

Tarian ini diiringi musik teranjak, yakni gamalan cepat dan bersemangat. Pengorbanan Orang Tuluyan Setelah menumang kepala, pemimpin ritual menceritakan dongeng sesulor sesileh. Di dalam dongeng inilah kita bisa mengetahui makna menganjan. Konon, dulu ada dua bersaudara bernama Sesulor dan Sesileh. Mereka adalah orang keturunan tuluyan. Orang tuluyan adalah kelompok dalam masyarakat Dayak Pesaguan yang ditakdirkan untuk dijadikan korban dalam setiap upacara menganjan. Mereka disiksa dengan tombak dan mandau, lalu dibunuh dan menjadi tumbal pada dasar tiang sandung atau tambak.

Keluarga besar almarhum berdoa di depan salib Untuk menghapus takdir ini, pada jaman UkotKebodah (pendiri kampung Serengkah), Sesulor dan Sesileh ini diminta mengayau kepala adat kampung Arut, Kalteng.

Konon kepala adat Arut ini sangat sakti dan bermuka tiga. Kepala itu harus utuh karena Ukot Kebodah mau melihat muka tiga tersebut. Dua bersaudara inipun setuju dan berhasil mengayau kepala adat Arut. Karena jarak Kalteng-Serengkah jauh, sekitar seminggu jalan hutan, agar tidak busuk, kepala itu dikuliti dan dikeringkan.

Sesampai di kampung Serengkah, keduanya disambut seluruh warga. Namun sayang, karena kepalanya tidak utuh, keduanya malah dituduh mencuri kepala orang dari pekuburan. Sesulor dan Sesileh tetap dikorbankan. Sebelum dibunuh mereka berpesan, “Jika di kaki kuburan tumbuh pohon keriato dan di kepala tumbuh pohon kumpang, berarti yang kami bawa memang benar,”ujar mereka.

Tiga hari setelah dibunuh dan dikubur, orang Pesaguan kaget bukan main karena di atas pusara Sesulor Sesileh tumbuh pohon keriata dan kumpang. Masyarakat Pesaguan pun akhirnya mengakui bahwa tengkorak kepala yanag dibawa Sesulor Sesileh adalah kepala adat Arut. Untuk mentaati perjanjian dengan Sesulor Sesileh, maka sejak itulah orang Pesaguan tidak lagi mengorbankan kepala manusia dalam ritual menganjan.

Sebagai gantinya adalah babi dan ayam. Menurut Gemalo Nius, sebagai wujud penghargaan orang Pesaguan kepada keturunan orang tuluyan, maka jika mereka meninggal akan disandung. Sandung adalah kuburan untuk abu jenasah. Jasad dibakar, lalu abunya disimpan dalam tempayan kecil dan diletakkan di atas tiang kayu belian setinggi 3-4 meter. Menurut Gemalo Nius, Orang Tuluyan ini bukanlah budak/kuli, tetapi orang yang memang dari awal ditakdirkan untuk dikorbankan jika ada ritual menganjan.

Untuk mengubah nasib, di beberapa kampung Orang Tuluyan ini melarikan diri/ pindah ke daerah lain. Misalnya, orang Tuluyan dari Kalteng yang lari dan membuka kampung Beringin, orang Tuluyan di Lemandau, Kalteng yang melarikan diri dan kini menjadi penduduk Kampung Petobang; orang Tuluyan dari Serengkah lari ke daerah Kengkubang (Jelayan-Natai Panjang), Batu Tajam, Pengatapan, Sungai Melayu dan sekitarnya.

Bedansai, Tarian masal menganjan

Itulah sebabnya di Jelayan, Natai Panjang, Batu Tajam, Pengatapan, Sungai Melayu dan kampung lainnya ada ritual menyandung orang mati. “Dengan ritual menganjan, orang Pesaguan diingatkan akan pengorbanan jiwa raga orang Tuluyan. Menganjan, terutama menyandung itu adalah semacam penebusan dosa-dosa orang Pesaguan kepada Orang Tuluyan,”jelas Nius. Memotong Garong, menebang jarau Untuk menyambut tamu maka diadakan ritual khusus yang disebut memotong garong.

Garong adalah nama jenis kayu yang batangnya ringan jika kering dan bisa dibuat rakit. Batang garong ini dipasang melintang di pintu gerbang khusus yang dibuat, sekitar 100 meter dari tempat acara. Sebelum masuk ke tempat acara, seluruh tamu disambut. Empat pasang penari datang menjemput ansang, sebutan bagi para tamu yang dijemput. Mula-mula seorang wakil keluarga yang menjemput akan bertanya kepada ansang tersebut. Bagian ini seru sekali karena antara tamu dan tuan rumah saling berbalasan dengan nada bicara seperti orang marah. Sambil bicara, tetamu disuguhi minum tuak dalam bambu yang disebut lumpang.

bedansai menganjan Garong kemudian dipotong oleh ansang secara bergantian. Ada sekitar 20 orang yang memotong garung. Yang memotong terakhir adalah domong adat ansang yang dituakan. Setelah garung putus, para tamu undangan diiringi oleh para penyambut berjalan menuju natar dan diterima di tetaruk.

Musik kanjan terus menerus ditabuh. Di sini para tamu dijamu dengan sirih pinang, minuman tuak dan makan. Ritual berikutnya adalah menebang jarau. Inilah acara yang ditunggu-tunggu anak-anak karena mereka akan diberi buah-buah jarau. Meski sebutannya menebang jarau, namun sesungguhnya tidak ditebang benaran.

Batang jarau dan buah-buahnya yang semula berdiri, akan dirobohkan setelah sebelumnya dibacakan mantra-mantra menebang jarau. Buahnya dikumpulkan—dan sebagian diberikan kepada anak-anak maupun orang yang dekatnya—tuak dalam tiang jarau akan diminumkan kepada tamu ataupun orang yang menebang jarau. Buah jarau ini kemudian akan dibagi. Ada dua jenis jarau, jarau pemalian (dari tuan rumah) dan jarau dari tamu. Jarau pemalian ini lebih besar dan lebih banyak buahnya. Di jarau pemalian, pada bagian bawahnya ada tempayan yang juga diisi tuak. Banyaknya jarau tergantung terkenal tidaknya orang yang dikanjankan; bisa mencapai ratusan batang.

Menebang jarau Menurut Gemalo Nius, adat jarau bukan merupakan adat asli Pesaguan tetapi dibeli dari Beringin. Orang Beringin membelinya secara adat dari Dayak Delang di Kalimantan Tengah karena jarak yang dekat dan hubungan yang baik antara orang Beringin dan OrangDelang. Adatnya adalah: sebuah tajau penuh tuak, piring delapan keping, babi seekor. “Selain jarau, adat yang dibeli dari Kalteng adalah menganjan di rumah.

Adat menganjan asli orang Pesaguan di tanah, tidak di rumah,”jelas Nius. Menganjan ditutup dengan adat pepiring beras.Yakni acara perpisahan dan pemberian tanda ucapan terima kasih atas semua ke­hadiran serta bantuan dari para tamu.“Harapannya rasa kepuasan dan kebahagian memenuhi kehidupan kami keluarga besar Bapak dan adik-adik yang dikanjanan. Kami puas dan bahagia karena telah menyelenggarakan acara penghormatan kepada Bapak dan adik-adik.

Kami percaya mereka sudah ber­bahagia di Sebayan Tujuh Serugo Dalam,”jelas Sunyan, anak almarhum Silan. Selama pelaksanaan 14 ritual menganjan tersebut musik gamalan kanjan tidak pernah berhenti. Puluhan orang, umumnya pemuda, secara bergiliran selama tiga hari siang dan malam menabuh gamalan. Ada tiga jenis gamalan, yakni gamalan biasa, gamalan kanjan dan gamalan tipaq. Dalam masyarakat Dayak umumnya, gamalan tipaq hanya dimainkan kalau ada kematian. Terancam punah Masyarakat Dayak Pesaguan mayoritas bermukim di pinggir Sungai Pesaguan dan anak-anak sungainya.

Berdasarkan buku Sujarni Aloy, dkk. “Mozaik Dayak: Keberagaman Subsuku Dan Bahasa Dayak Di Kalimantan Barat’, Institut Dayakologi (2008), ada 7 kelompok Pesaguan. YaituBatu Tajam, Kekura’, Kengkubang, Marau, Pesaguan Hulu, Pesaguan Kanan, Sepauhan. Mereka bermukim di wilayah 3 kecamatan, yakni Tumbang Titi, Sungai Melayu dan Jelai Hulu. Pelan tapi pasti ritual menganjan ini tergerus jaman dan makin langka.

Pemberkakatan salib secara Katolik

Selain karena biayanya mahal, juga bahan pendukung ritual ini semakin sulit dicari karena isi alam makin habis. Mahal karena dalam setiap pelaksanaan ritual menganjan yang besar, seperti menganjan Marsianus Silan (6-8/7/2012) menurut Sunyan, anak tertua almarhum, diperlukan 25 ekor babi, 200 ekor ayam, ratusan kilo beras, ratusan kilo sayur dan 500 liter tuak dan arak; belum biaya lainnya. Bahan yang diperlulan untuk ritual menganjan menurut Gemalo Nius terdiri dari puluhan jenis pohon buah-buahan, sayuran dan tanam tumbuh lainnya.

“Sebagian bahan itu kini makin sulit dicari, apalagi seperti bulu burung ruai—burung khas Kalimantan yang indah bulunya. Ini tidak terlepas dari makin menyempitnya areal perladangan dan hutan-hutan karena dibabat untuk areal perkebunan kelapa sawit, hutan tanaman industri dan pertambangan,”jelasnya. Menurut Nius, kebudayaan Pesaguan dipengaruhi budaya Jawa, agama Hindu, Budha, Islam dan Katolik.

Tahun 1918 misionaris Kapusin mulai mendirikan sekolah Katolik di Serengkah. Agama Katolik mempunyai peranan penting dalam perkembangan manusia dan kebudayaa Dayak Pesaguan era dulu dan kini. Hari-hari ini tantangan terbesar adalah gencar sekali rencana masuknya sejumlah perusahaan perkebunan kelapa sawit dan hutan tanaman industri (HTI) di kampung-kampung Dayak Pesaguan.

Ada yang menerima, ada yang dengan tegas menolak. Banjir bandang yang memutuskan jembatan di akibat kampung Beringin dan Batu Beransah dan merendam rumah, kebun, ternak warga diyakini warga akibat habisnya hutan di sekitar kampung Beringin (kampung paling udik Sungai Pesaguan) dan diganti dengan kebun sengon (HTI).***

Artikel ini dimuat di koran The Jakarta Post tangga 31 Oktober 2012.