Uskup Sanggau, “Nasib Orang Dayak Pasca IKN: Quo Vadis?”

Uskup Sanggau, “Nasib Orang Dayak Pasca IKN: Quo Vadis?”

Komisi Pengembangan Sosial Ekonomi (PSE), Caritas, KKP-PMP dan SGPP Regio Kalimantan pada tanggal 15-18 Mei 2023, bertempat di Aula Keuskupan Samarinda mengadakan pertemuan tahunan. Ada sejumlah narasumber yang diminta memberikan masukan, salah satunya adalah Uskup Sanggau, Kalbar, Mgr. Valentinus Saeng, CP. Mgr. Valens mempresentasikan makalahnya pada tanggal 16 Mei 2023 dengan moderator RD. Paulinus Surip. Berikut isi makalah Mgr.Valens yang memberikan pandangannya terkait IKN dan nasib masyarakat Dayak sebagai pendudukan asli Pulau Kalimantan. Makalah ini sudah tersebar di berbagai grup WA dan lainnya.

Pengantar

Berbicara tentang Eksistensi Orang Dayak dan Masa Depannya memunculkan suatu pertanyaan di dalam hati: apakah pertanyaan ini relevan untuk dibahas dalam pertemuan ini? Apakah tidak lebih baik berbicara tentang Nasib Umat Katolik Pasca Ibu Kota Nusantara (IKN)? Mengapa tema tentang eksistensi dan masa depan orang Dayak menjadi tema penting dalam pertemuan ini? Karena mereka adalah penduduk asli yang terpinggirkan selama ini? Soal terakhir ini mungkin menjadi alasan utama kita membicarakan eksistensi dan masa depan orang Dayak pasca IKN.

Bila dicermati komposisi penduduk di pulau Kalimantan, maka jelas bahwa suku bangsa Dayak sudah bukan lagi mayoritas di beberapa daerah. Untuk Kalimantan Timur, suku Dayak menempati urutan ke-4, sementara urutan pertama, kedua dan ketiga ditempati oleh Jawa, Bugis dan Banjar. Suku Dayak hanya menjadi mayoritas di Kalimantan Utara, Kalimantan Tengah dan Kalimantan Barat, sementara di Kalimantan Selatan, suku mayoritas adalah Banjar.

Istilah Dayak sendiri bersifat problematis. Mengapa demikian? Karena sebutan Dayak bukan berasal dari penduduk lokal pulau Kalimantan. Istilah Dayak digunakan oleh pendatang dan penguasa Belanda untuk menyebut penduduk lokal sebagai sebuah nama umum, karena mereka menetap di pendalaman. Dalam perkembangannya, istilah Dayak memuat konotasi sosio-politik-religius, terutama di beberapa tempat dan mengacu pada penduduk lokal yang non-muslim. Ada banyak teori tentang asal muasal nama Dayak, tetapi dalam tulisan singkat ini hal tersebut diabaikan.

Terkait dengan nama Dayak, beberapa suku di Kalimantan (Timur, Utara dan Selatan) menolak dimasukan dalam kategori etnikal ini. Mereka lebih senang menamai diri sesuai dengan nama suku aslinya, misalnya suku Kutai, Tidung, Banjar dst. Sementara di Kalimantan Barat dan di Kalimantan Tengah, penduduk lokal tidak merasa keberatan dengan sebutan Dayak. Hal tersebut boleh jadi lahir dari kesadaran bahwa penduduk asli memerlukan sebuah identitas baru yang bersifat politis-kultural, integral-integratif bagi eksistensi kultural mereka.

Untuk wilayah Kalimantan Barat, sebutan Dayak identik dengan penduduk asli non-Melayu dan non-Islam. Sementara penduduk asli yang memeluk agama Islam mengelompok-kan diri ke dalam etnis Melayu, karena Melayu identik dengan Islam, meskipun penduduk lokal non-muslim memiliki istilah tersendiri untuk menyebut anggotanya yang berpindah keyakinan.

Orang Melayu merupakan bangsa perantau dari semenanjung Malaya dan Sumatra, sehingga tidak digolongkan sebagai penduduk asli. Namun sejalan dengan keberhasilan misi Islam mendekati para raja Dayak yang berada di muara-muara sungai untuk memeluk agama tersebut, maka para raja tersebut dan para pengikutnya menyebut diri sebagai Melayu, karena dikeluarkan dari suku dan dianggap turun status sosialnya.

Lalu bagaimana sebutan Dayak dapat diterima oleh penduduk asli di Kalimantan Tengah? Boleh jadi bahwa sebutan Dayak di Kalimantan Tengah berhubungan erat dengan pengaruh kesultanan Banjar yang beragama Islam. Untuk membedakan orang Banjar yang beragama Islam dari penduduk asli yang non-Islam, maka penjajah Belanda menggunakan istilah Dayak sebagai nama umum untuk semua suku tersebut. Namun penduduk lokal di Kalimantan Tengah, sama seperti di Kalimantan Timur dan Utara, tidak melihat agama dan suku sebagai dua hal yang saling bertentangan. Penduduk lokal yang menganut Islam tetap menyebut diri sebagai Dayak hingga hari ini. 

  1. IKN: Berkat atau Kutuk?

Setelah enam puluh tahun direncanakan dan diperbincangkan, ibu kota negara akhirnya dipindahkan ke pulau Kalimantan. Rencana pemindahan ibu kota negara dari pulau Jawa digagas pertama kali oleh Presiden Soekarno pada saat beliau meresmikan kota Palangka Raya sebagai ibu kota provinsi Kalimantan Tengah tahun 1957. Kota Palangka Raya didesain sendiri oleh Soekarno dan tampak bahwa beliau menginginkan kota ini sebagai ibu kota negara. Namun seiring waktu, wacana tersebut tenggelam oleh hiruk pikuk persoalan kebangsaan. Presiden Soeharto dan Susilo Bambang Yudhoyono pun pernah berwacana memindahkan ibu kota negara dari Jakarta, namun seperti semula keinginan tersebut menghilang.

Wacana itu diangkat kembali oleh Presiden Joko Widodo pada tahun 2015. Saat itu Presiden Joko Widodo meminta Bappenas (yang dipimpin oleh Menteri Andrinof Chaniago), untuk membuat kajian tentang pemindahan ibu kota negara. Lalu, Presiden Joko Widodo menginstruksikan Bappenas pada 2017 untuk mengkaji secara lebih serius dan mendalam pemindahan ibu kota negara. Pada Senin, 29 April 2019 Presiden Joko Widodo mengadakan rapat tertutup di Kantor Presiden untuk membahas hasil kajian Bappenas tentang pemindahan ibu kota negara.

Menteri Bappenas, Bambang Brodjonegoro, memaparkan hasil kajiannya dengan mengajukan tiga pilihan. Pertama, ibu kota negara tetap berada di Jakarta. Kedua, ibu kota dipindahkan sejauh 50-70 km dari kota Jakarta. Ketiga, ibu kota negara dipindahkan ke luar pulau Jawa. Sejak issu pemindahan ibu kota negara bergulir, banyak sekali spekulasi seputar pulau yang akan dipilih, tetapi secara umum pulau Kalimantan mendapat banyak sorotan, karena sudah digadang-gadang oleh Presiden Soekarno, memiliki lahan yang luas, penduduk masih jarang, berada di tengah dan di luar jalur gempa. Banyak orang juga mengira bahwa Presiden Joko Widodo akan memilih Kalimantan Tengah, terutama di sekitar Palangka Raya yang menjadi tempat relokasi ibu kota negara.

Namun, setelah mempertimbangkan banyak aspek dan terutama daya dukung ketersediaan lahan, maka Presiden Joko Widodo memilih Penajam Paser Utara sebagai tempat kedudukan ibu kota negara. Untuk memperkuat dan mempercepat pemindahan serta pembangunan ibu kota negara, Pemerintah mengeluarkan UU No.3 Tahun 2022 tentang Ibu

Kota Negara dan Peraturan Pemerintah No. 17 Tahun 2022 tentang Pendanaan dan Pengelolaan Anggaran Dalam Rangka Persiapan, Pembangunan dan Pemindahan Ibu Kota Negara serta Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Khusus Ibu Kota Nusantara serta Peraturan Presiden No. 62 Tahun 2022 tentang Otorita Ibu Kota Nusantara. Kini secara yuridis ibu kota negara sudah pindah dan hal itu akan berdampak luas bagi semua warga negara, terutama bagi warga lokal di pulau Kalimantan secara keseluruhan.

Beragam reaksi ketika pemerintah pusat mengambil keputusan untuk memindahkan ibu kota negara, tidak terkecuali dari warga lokal Kalimantan. Saya, sebagai warga biasa dan orang “kecil”, tentu tidak dapat mempengaruhi keputusan pemerintah pusat terkait pemindahan itu, karena berada di luar jangkauan wewenang kita. Namun hal yang dapat kita lakukan adalah membuat mitigasi “bencana” dari pemindahan ibu kota negara ke pulau Kalimantan terutama bagi rakyat kecil-penduduk lokal yang bernama Dayak. Mengapa mitigasi tersebut bersifat urgen dan penting?

Pemindahan ibu kota negara bukan hanya memindahkan aktivitas operasional bermacam lembaga negara dan pemerintahan dan bukan pula sekedar mendirikan bangunan, jembatan dan membuat jalan raya. Pemindahan ibu kota negara berarti migrasi dari semua modal sosial, politik, ekonomi, pertahanan-keamanan, kultural, ilmu pengetahuan dan teknologi, orang baik dan orang jahat, lembaga/perwakilan negara asing, perusahaan-perusahaan asing, lembaga swadaya masyarakat lokal, regional dan internasional dengan aneka macam kepentingannya, organisasi yang berniat membangun bagi kesejahteraan bersama maupun organisasi kriminal-mafia untuk kepentingan sendiri/kelompoknya.

Di ibu kota negara yang baru akan berdatangan orang-orang baik dari segenap pelosok tanah air maupun dari luar negeri, orang-orang pintar-jenius atau orang biasa, orang tidak sekolah-buta hurup, berijasah SD, SMP, SMU hingga perguruan tinggi lokal maupun internasional, dari universitas abal-abal sampai universitas ternama, rakyat jelata yang hanya mengandalkan tangan-kaki, hingga kaum ilmuan dan para konglomerat yang sudah tak ingat berapa jumlah perusahaannya dan para penguasa yang bergerak di belakang layar. Singkat kata ibu kota negara ibarat gula yang mengundang semut dari mana-mana dan dari segala ukuran.

Kehadiran bermacam ragam lembaga, organisasi, perusahaan dan semua orang yang akan mengoperasikannya merupakan keniscayaan yang harus dihidupi dan dihadapi oleh warga lokal Penajam Paser Utara dan seluruh Kalimantan. Hanya saja akan ada ketimpangan yang besar sekali antara modal sosial-kultural-ekonomi-politik antara warga lokal kebanyakan dan para pendatang tersebut. Ketimpangan dari sudut ketrampilan, kecakapan, pengetahuan ilmiah, teknologi, mentalitas, sikap, cara berusaha, bekerja dan mengelola sumber daya yang ada dan konflik akan terpampang dengan jelas. Apakah warga lokal Kalimantan, terutama orang Dayak dan umat katolik Kalimantan sudah siap bersaing, bertarung dan merebut kesempatan yang tersedia secara terhormat dan bermartabat?

Di ibu kota negara: Nusantara tentu “jualan” warga lokal tidak hanya sekedar sebutan “warga asli – orang Dayak”; barang itu tidak cukup dan tidak laku. Warga lokal, orang Dayak harus menjual juga kecakapan, kemahiran, ketrampilan, kemampuan, daya juang, kecerdasan, kejujuran, kecermelangan alias, profesionalitas, kapabilitas, kompetensi, prestasi dst. Karena, yang diurus dan dikelola oleh bermacam lembaga negara dan pemerintahan berkaitan dengan

hajat hidup orang banyak, kesejahteraan dan keadilan bagi seluruh warga negara, sehingga mereka yang bekerja dan mengabdi di sana hendaklah orang-orang pilihan, terbaik, istimewa dan mumpuni. Apakah orang Dayak dan warga lokal Kalimantan menyadari hal ini?

Sebelum semua lembaga negara Indonesia dan asing dengan segala turunannya pindah ke Kalimantan, maka kita mendesak dengan sangat dan mewajibkan warga Dayak dan lokal yang lain untuk bersiap diri. Pertarungan hidup mati akan segera dimulai dan pasti ada yang menang dan ada yang kalah. Harapannya, orang Dayak dan warga lokal dapat berpartisipasi dan berkontribusi secara positif dalam tata penyelenggaraan pemerintahan negara di ibu kota negara yang baru. Sebab, kalau kita hanya berharap pada belas kasihan orang, tanpa berusaha sendiri, maka yakinlah anda sekalian bahwa orang Dayak akan menjadi penonton dan korban gratis pembangunan dan pemindahan ibu kota negara. Warga Dayak dan lokal akan berkuli di tanah sendiri, terpinggirkan dan tersingkir dari kemakmuran dan kesejahteraan yang mereka mimpikan selama ini. Ingat pepatah ini: IBU KOTA LEBIH KEJAM DARIPADA IBU TIRI dan hal itu akan berlaku di Nusantara sebagai ibu kota negara yang baru.

Sekarang tinggal kita, warga Dayak dan lokal Kalimantan, menentukan pilihan atas relokasi ibu kota negara: atau menjadikan Nusantara sebagai berkat, sumber kesejahteraan dan keberhasilan, ajang menunjukkan daya juang, kecerdasan, kemahiran, spirit bertarung secara jantan dan prestasi warga Dayak dan lokal yang selama sekian puluh tahun kurang mendapat perhatian dari pemerintah pusat atau menjadikan Nusantara sebagai sumber tangis, air mata dan penyesalan yang tak berkesudahan, tanda kutuk dan aib yang tak terhapuskan karena kita belum siap untuk bertarung dengan cara dan gaya yang baru. 

  1. Kalimantan & Orang Dayak

Dalam rangka menghadapi tantangan dan persoalan ke depan yang akan melanda warga Kalimantan akibat pemindahan ibu kota negara, maka perkenankan saya memetakan atau membuat diagnosa secara singkat tentang pulau Kalimantan dan warganya seturut kriteria keunggulan-kelemahan dan tantangan-peluang supaya kita sekalian bisa mengenal diri, mampu mengukur kemampuan, membuat perencanaan dan siap membuat tindakan. 

Keunggulan

  1. Pulau yang luas dan kaya bahan tambang
  2. Penduduk masih sedikit & multi-etnis
  3. Penduduk asli bersikap “welcome”
  4. Hukum adat masih berlaku
  5. Mentalitas spiritualis-mistis
  6. Alam dan manusia bersaudara
  7. Ada CU di banyak tempat
  8. Penduduk asli masih memiliki lahan pribadi
  9. Keluarga memiliki sumber pendapatan: berburu-meramu-perkebunan
  10. Keluarga punya beberapa sumber pendapatan
  11. Pengangguran minim, karena punya lahan yang diolah
  12. Egalitarian

Kelemahan

  1. Lahan makin sempit
  2. Menjual tanah, bukan hasilnya
  3. Mudah patah semangat
  4. Kurang terbiasa berdiplomasi
  5. Mengasingkan diri ke pondok
  6. Mendewakan orang luar
  7. Rendah diri (Suku & Agama)
  8. Penting malu daripada dosa
  9. Lingkungan sudah rusak
  10. Penduduk lokal serba tertinggal
  11. Iri dengan orang sesuku-sekampung
  12. Minder dan malu
  13. Kurang kompetitif
  14. Jalan pintas dan mental gampang

Tantangan

  1. IKN, transmigrasi & migrasi
  2. Perkebunan dan Pertambangan
  3. Konflik SARA dan lahan
  4. Diskriminasi dan rasisme
  5. Jurang kaya dan miskin
  6. Premanisme dan kriminalitas
  7. Cara kerja ilmiah dan teknologis
  8. Jurang antara kaya dan miskin makin melebar
  9. Industrialisasi dan segala dampaknya

Peluang

  1. Pembangunan yang massif di sekitar IKN
  2. Pembangunan Kalimantan secara keseluruhan
  3. Relokasi perkantoran dan pabrik-pabrik
  4. Kalimantan akan menjadi pusat perhatian dunia
  5. Ada banyak lapangan kerja
  6. Pendidikan tinggi + beasiswa
  7. Punya lahan pribadi
  8. Industrialisasi hulu dan hilir
  9. Lembaga Diklat dan kursus
  10. CU dan UKM
  11. Berbatasan dengan luar negeri
  12. Akses pada keuangan nasional dan global
  13. Kerjasama, tukar menukar keahlian dan pengalaman

Siap Berkompetisi?

Diagnosis singkat tentang Kalimantan dan orang Dayak menjadi batu loncatan untuk membuat proyeksi tentang realitas hidup yang akan mereka hadapi dan alami. Ibarat previsione del tempo atau weather forecast, hidup pasca IKN akan diwarnai oleh kompetisi yang keras, mengutamakan smart work, bukan hard work, memprioritaskan performance principle, bukan leisure principle, kalkulasi untung-rugi, kompetensi, kapabilitas, profesionalitas dan standard ilmiah-teknis yang lain.

Bila hidup sosial dijiwai oleh spirit kompetisi, kompetensi dan standard ilmiah-teknis, apakah orang Dayak sudah siap menghadapinya? Saya pernah bermimpi tentang IKN dan menulisnya di laman FB; sebuah mimpi yang profetis sekali. “Suatu saat, saya berlibur dan berjalan-jalan di IKN. Di mana-mana berdiri gedung yang megah nan indah, jalan-jalan lebar dan panjang, taman tertata rapi dan kendaraan lalu-lalang dengan teratur. Namun di sebuah pojok jalan, saya melihat seorang anak kecil kumuh dan telanjang sedang memegan kecoa dan memasukkan ke mulut. Saya langsung teriak, ‘Jangan dimakan. Kotor’. Bocah itu menatapku sambil berkata, ‘Om, dapat kecoa ini saja udah untung. Ini sehat kok, Om’. Bocah itu lalu mengunyahnya”. Saya langsung terbangun dan termenung. Apakah begitu nasib orang Dayak pasca IKN?

Sebagai putra-putri asli Kalimantan, kita tentu berharap bahwa eksistensi orang Dayak terus berlanjut dan masa depannya secerah sinar surya yang menerangi pulau yang kaya ini. Namun eksistensi yang dimaksud bukanlah sekedar survive-bertahan hidup di tengah segala macam kesulitan dan persoalan, ketertinggalan dan kemiskinan, melainkan sungguh hidup dan berkontribusi secara positif bagi perkembangan masyarakat dan negara-bangsa secara umum. Hanya saja, untuk membuat orang Dayak memiliki masa depan yang cerah dan memberikan sumbangsih bagi kesejahteraan sosial-kebangsaan menuntut banyak sekali usaha dan kerja keras nan cerdas, perubahan mentalitas, sikap dan perilaku. Secara riil, orang Dayak hendaklah melakukan revolusi mental dan pola hidup jika ingin terus eksis dan bermasa depan gemilang.

Apa saja yang harus dirombak total? Pertama-tama ialah mentalitas yang menunggu dan menikmati hasil. Bukan rahasia lagi kalau hampir semua orang Dayak terbiasa menunggu saja proses alam berlangsung, lalu tinggal memetik hasilnya. Masih banyak orang Dayak yang berladang, setelah proses membakar lahan dan menugal, padi dan tanaman yang lain dibiarkan tumbuh liar bersama dengan semak belukar. Mereka akan kembali manakala padi sudah dapat dipanen. Sementara selama menunggu musim panen, mereka melakukan kerja serabutan, berburu dan meramu. Makan buah dan sayur hanya menunggu masa tanam berlangsung, sebab mentalitas berkebun belum menjadi pola hidup yang baku, kecuali di beberapa tempat yang sudah dipengaruhi oleh para transmigran dari luar Kalimantan.

Hal kedua yang harus dirombak adalah pola kesamaan absolut di antara semua warga. Latar belakang berpikir dan alam hidup di rumah betang atau rumah panjang tertanam kuat dalam hati sanubari orang Dayak, meskipun sebagian besar sudah hidup di rumah tunggal. Mentalitas rumah betang ialah semua harus sama dalam segala dimensi kehidupan; tidak boleh ada yang menonjol. Kesamaan absolut itu membuat orang Dayak cenderung iri dan dengki dengan orang sekampungnya atau sesukunya. Buktinya dapat ditemukan dalam kehidupan sosial-politik-ekonomi di kampung-kampung. Kalau ada pemilihan kepala desa, warga Dayak hampir jarang memilih rekan sekampung, tetapi pendatang yang menetap di situ. Jika ada warga yang berdagang atau berjualan sayur di pasar atau pinggir jalan, orang sekampungnya tidak akan belanja padanya, tetapi dengan orang lain. Kalau menjual tanah atau kebun, dia akan mematok harga tinggi dengan kerabatnya atau orang sesukunya, tetapi menjual murah kepada orang asing. Anehnya, begitu berada dalam kesulitan, orang pertama yang dicari ialah warga sekampung, kerabat dan sesukunya dan bukan orang “asing” yang dibantunya. Ini adalah bukti tentang kesamaan (equity) absolut gaya Dayak. 

Ketiga berkaitan dengan kebiasaan menghindar dari persoalan dan persaingan. Karena semua harus sama dalam segala hal, maka orang Dayak berusaha sekuat tenaga mencegah dan menghindari segala masalah dalam hidup bersama. Orang yang dianggap trouble maker pasti tidak berumur panjang dalam komunitas rumah betang, dalam arti bahwa orang tersebut akan disingkirkan dengan cara apapun. Karena membunuh langsung dapat menciptakan malapetaka bagi keluarga besar rumah betang, maka sang trouble maker tersebut boleh jadi diusir dari kampung dan dalam kasus yang berat dilenyapkan dengan racun dll.. Ketika konflik melibat banyak keluarga, maka orang-orang melarikan diri ke pondok ladang dan di sana menciptakan komunitas baru yang didasarkan pada garis keturunan. Itulah yang menjadi asal muasal dari suku-suku kecil di Kalimantan.

Hal keempat ialah permusuhan yang berciri turun temurun antar kelompok sosial akibat konflik antar-keluarga, antar-kampung dan antar-suku di masa lalu. Selain karena faktor sosial dalam hidup bersama di rumah betang, permusuhan yang turun temurun disebabkan pula oleh kebiasaan mengayau atau berburu kepala yang terjadi di kalangan orang Dayak. Permusuhan yang turun temurun dapat kita temukan dengan mudah pada banyak kisah rakyat yang masih hidup di kalangan orang Dayak. Dari kisah rakyat tersebut, kita dapat menemukan jejak-jejak permusuhan yang tampil dalam prasangka terhadap suku tertentu dan pengagungan atas suku sendiri. Sayang sekali bahwa narasi yang bersifat provokatif, sarat prasangka dan menghina antar-kelompok sosial dihidupkan dari generasi ke generasi dan makin mengkristal di masa kini lewat politik identitas yang diumbar di seluruh Indonesia.

Faktor kelima bertalian dengan sikap rendah diri dan pemalu serta mendewakan orang asing. Sudah menjadi sejarah kelam bahwa banyak suku Dayak yang berada di dekat ibu kota kerajaan atau kota raja mengalami perlakuan yang buruk oleh para sultan dan raja yang menjadi kaki tangan penjajah. Orang Dayak bukan hanya harus membayar upeti, melainkan juga tidak boleh sekolah dan dijadikan budak belian. Bila ingin berpendidikan, mereka diharuskan pindah agama. Jadi, orang Dayak merupakan warga kelas terendah dalam hirarki masyarakat yang dibuat oleh penjajah: orang Barat, Arab-Cina-Melayu dan Dayak.

Perlakuan yang diterima sebagai warga kelas terendah masih tertanam di dalam ruang kesadaran dan relung hati sanubari orang Dayak. Akibatnya mereka merasa kurang atau tidak percaya dengan kemampuan sendiri, gampang mengalah bila ada permasalahan, mudah pindah keyakinan terutama terkait dengan karir dan jodoh, meski secara status sosial kedudukannya jauh lebih tinggi daripada pendatang (misalnya anak majikan nikah dengan buruh hariannya dan pindah keyakinan mengikuti buruhnya, padahal tinggal serumah). Pada kondisi psikologis demikian, orang Dayak selalu melihat orang asing lebih baik, lebih hebat, lebih pintar dan lebih berbudaya daripada dirinya, sehingga berdampak buruk bagi kehidupan mereka dalam segala dimensinya.

Kaum terpelajar dan ahli kemanusiaan telah membuktikan bahwa tidak ada orang/suku yang lebih rendah daripada yang lain. Orang pintar dan bodoh, baik dan jahat, malas dan rajin, kaya dan miskin ditemukan dalam setiap rumah tangga dan komunitas, suku dan bangsa. Yang ada adalah orang yang berkeinginan untuk mengembangkan semua potensinya, memanfaatkan setiap peluang yang ada, berani berjuang dan ambil risiko, pantang menyerah, kreatif, rajin, menghitung untung dan rugi, hemat, peka dengan perubahan, mampu membaca dinamika hidup manusia (tanda-tanda jaman) dan siap berubah bila dituntut oleh keadaan (meninggalkan zona nyaman) atau orang yang pesimis, malas, boros, mudah ngambek, kaku, penakut, dst.

Selain itu, orang Dayak lebih mementingkan rasa malu daripada rasa berdosa pada tataran religius. Memiliki perasaan malu merupakan sebuah pertanda bahwa seseorang punya kesadaran moral-etis dalam hidup bersama. Namun, rasa malu tidaklah cukup, orang hendaklah masuk pada akar dari rasa malu, yaitu dimensi religiusitas yang mengalir dari kesadaran akan kefanaan manusia dan keabadian Tuhan. Rasa malu yang tidak berdimensi religius akan rawan dimanipulasi dan dieksploitasi oleh orang yang berkehendak buruk. Itulah yang terjadi dengan orang Dayak.

Bentuk konkrit dari pemisahan rasa malu dari rasa berdosa tampak dalam kasus di mana seorang gadis hamil di luar nikah. Bagi keluarga yang mengalami peristiwa tragis tersebut, perasaan utama yang dominan muncul ialah rasa malu di hadapan tetangga daripada kesadaran tentang dosa. Karena itu, demi menutup aib tersebut, keluarga akan menikahkan sang korban dengan pelaku meski harus berpindah keyakinan daripada tetap mempertahankan keyakinan, meski harus menanggung malu. Pola berpikir inilah yang banyak dimanfaatkan oleh orang-orang yang berniat buruk untuk menaklukkan terutama para pemudi agar berpindah agama. 

Unsur keenam berkaitan dengan sikap boros. Kalau mau jujur, tidak ada orang Dayak yang miskin dan melarat. Cukup melihat apa yang mereka makan setiap hari, maka kita dapat mengatakan bahwa orang Dayak hidup berkecukupan, makan bergizi dan makan enak. Hampir tidak pernah kita jumpai orang Dayak hanya makan dengan satu jenis sayur dan lauk; mereka pasti menyiapkan 4 sampai 5 jenis sayur-mayur dan lauk pauk untuk dinikmati (karena hutan dan sungai masih menyediakan lauk pauk dan sayur mayur yang berlimpah ruah). Lalu, setiap selesai panen, orang Dayak merayakannya secara meriah. Persoalan yang muncul ialah pesta panen itu dilangsungkan selama beberapa hari (3 sampai 7 hari) dan tamu yang datang diberi makan-minum gratis.

Niat bersyukur atas hasil panen tentu merupakan sikap yang baik dan terpuji, tetapi mengadakan pesta selama beberapa hari dan memberi konsumsi gratis kepada semua tamu yang datang selama itu merupakan bentuk pemborosan, mengingat hasil panen yang tidak seberapa. Andai saja para petani menghitung biaya yang mereka keluarkan mulai dari mencari lahan, menebas, menebang pohon, membakar lahan, menugal, merumput, memanen ladang, melepas bulir padi setelah panen di mana banyak kegiatan dilakukan dengan royongan (20-30 orang peserta), maka keuntungan yang diperoleh sangat tipis dan bahkan cenderung merugi.

Sikap boros tampak pula dalam pola hidup di era perkebunan dan pertambangan saat ini dan pemborosan itu makin merajalela di saat para petani menikmati hasil yang memadai. Di kampung-kampung Dayak yang penduduknya memiliki lahan sawit yang cukup besar (4-6 hektar/2-3 kapling) dan penghasilan yang cukup banyak (6-10 juta/bulan), mereka lebih banyak menghabiskan waktu untuk hal-hal yang tidak produktif dan konsumtif, misalnya berburu binatang dan setelah itu kumpul-kumpul sambil menikmati minuman keras. Kalau dulu, orang Dayak pesta hanya satu kali setahun, Dayak Kristen tiga kali setahun (Natal, Paska, selepas panen), kini mereka pesta setiap hari: dapat seekor tupai atau lele saja mereka bisa pesta dari pagi hingga malam. Jadi, semua penghasilan habis dalam sekejap saja karena pola berpikirnya masih berada pada tataran prinsip: hidup sehari makan sehari.

Hal ketujuh berhubungan dengan kebiasaan berhutang. Jika para pendatang berusaha hidup hemat dan menabung, orang Dayak masih terus menghidupi mentalitas berhutang pada toke/pemilik toko. Berhutang merupakan salah satu cara yang digunakan untuk berbisnis dan hal demikian tergolong wajar dalam dunia pekerjaan dan perdagangan. Namun, perbedaan antara mentalitas berhutang orang Dayak dan para pengusaha terletak pada penggunaan modal hutang tersebut. Bila para pengusaha berhutang dari bank dan modal itu digunakan untuk usaha atau pekerjaan yang produktif (membuat usaha baru atau memperbesar produksi), tetapi orang Dayak berhutang untuk hal-hal yang bersifat konsumtif. Modal yang dipinjam habis begitu saja, sehingga hidupnya hanya “pinjam modal-balik modal alias gali lubang-tutup lubang”.

Mentalitas berhutang ini memiliki dampak buruk. Ketika orang Dayak tidak mampu lagi membayar hutang, maka pemodal akan menarik asetnya. Selain itu, karena tidak memiliki kebiasaan menabung, maka aset-aset dijual kepada orang asing (bukan kepada kerabat) untuk membayar hutang (di dealer, CU, bank, toke) ketika membeli motor, membiayai anak kuliah, berobat ke rumah sakit dll. Akibatnya, banyak orang Dayak menjadi kuli di tanah sendiri, bekerja sebagai buruh pada para pendatang karena sudah tidak memiliki lahan pertanian dan tidak punya ketrampilan apapun.

Unsur kedelapan menyangkut kebiasaan bermain judi yang diselipkan dalam setiap upacara adat. Sudah menjadi kebiasaan dan diketahui secara luas oleh masyarakat bahwa orang Dayak-sama seperti masyarakat yang lain senang bermain judi. Judi itu dilakukan pada waktu orang mengadakan pesta besar seperti pesta panen, pemindahan tulang belulang anggota keluarga dan kerabat yang sudah meninggal (upacara tiwah), pesta perkawinan dan hari-hari tertentu yang dikenal dengan sebutan Pesta Demokrasi Bulanan.

Mental judi merupakan sebuah keburukan moral (dosa) dan sekaligus kerugian finansial. Pemain hampir tidak pernah menang dan untung besar; yang menang dan untung selalu ada di pihak bandar. Mereka yang bermain judi selalu mengalami kerugian dan kehilangan sumber penghasilan dan harta benda: tanah, kebun, motor, gelang, cincin, jam tangan hingga pakaian. Mengapa demikian? Karena mereka yang kalah berupaya mengembalikan modal yang hilang, sehingga pelaku bukan berhenti pasang taruhan, melainkan menggadaikan semua yang ada padanya, dengan harapan dapat meraih kemenangan untuk mengembalikan modal dan mendapat keuntungan. Namun, keinginan tersebut justru menjadi bumerang dan semakin menjerumuskan pelaku sehingga membuatnya kehilangan segala-galanya. Impian kaya lewat sirna dan berganti dengan hidup tanpa apa-apa.

Relevansi: Bergerak Bersama

Ada banyak sekali kebiasaan buruk yang dihidupi oleh orang Dayak. Namun saya batasi pembahasan ini dengan mengangkat beberapa unsur negatif di atas, yang secara subyektif bisa dianggap berlaku umum dalam semua masyarakat Dayak.

Kalau orang Dayak ingin terus eksis dan bermasa depan cerah, maka beberapa unsur negatif itu mesti segera dihilangkan. Tidak ada jalan pintas untuk keluar dari aneka ragam persoalan hidup yang telah ada sejak lama dan akan muncul pasca IKN. Diperlukan gerak bersama secara serempak, berkelanjutan, sistematis dan terstruktur mulai dari keluarga hingga kampung-kampung untuk segera berbenah diri. Gerak bersama untuk maju tersebut bukanlah hal yang mustahil dilakukan, karena dalam DNA orang Dayak sudah tertanam semangat bertarung; mereka adalah keturunan dari para pengayau yang sangat legendaris, orang-orang gagah berani, yang pandai membaca tanda-tanda alam, perhitungan dalam aksi, peka dengan perubahan dan cepat beradaptasi dengan lingkungan sekitar.

Untuk itu, orang Dayak harus segera bangun dan memberikan tanggapan yang terukur, terutama lewat pendidikan yang bermutu. Kita tidak hanya sekedar mengejar ijazah atau asal pilih sekolah-kampus. Bagi mereka yang mampu bidikan haruslah diarahkan pada sekolah-kampus yang berkualitas atau ring satu. Mengapa demikian? Karena kita hidup di alam dan lingkungan yang menuntut demikian, yaitu IKN. Memang ada banyak peluang kerja di sana sebanyak lembaga negara yang ada, namun akses dan persyaratan yang dituntut memiliki kualifikasi kelas satu dalam segala sisinya.

Tidak ada waktu untuk bermalas dan berlambat menyikapi lingkungan hidup dan lingkungan strategis yang bersifat dinamis ini. IKN sudah menjadi realitas yang pasti akan berdampak besar bagi semua pihak, terutama orang Dayak. Bagaimana masa depan IKN – tetap dilanjutkan atau tidak – tidak berada di tangan kita orang kecil ini. Yang berada dalam genggaman tangan kita ialah mempersiapkan diri dan umat serta masyarakat Dayak untuk siap bertarung dan berkontribusi bagi kesejahteraan masyarakat. Bila tanggapan kita terlambat, sporadis dan asal-asalan maka korban pertama dari kemiskinan, ketertinggalan dan keterpinggiran itu adalah keluarga-keluarga.

Membiarkan keluarga-keluarga dalam kemiskinan dan ketertinggalan sama dengan menanam dan memelihara bibit penyakit sosial dalam masyarakat. Kemiskinan, ketertinggalan dan keterpinggiran merupakan bom waktu bagi kohesi sosial dan menjadi bahan mentah dan lahan subur bagi bermacam organisasi kriminal, teroristik-ekstrimis yang akan mengacau persatuan-kesatuan, keharmonisan dan toleransi sesama anak bangsa. Dengan kata lain, IKN bukanlah berkat bagi orang Dayak melainkan kutukan, bukan semakin menyejahterakan, melainkan hanya memperluas KKN dan jaringan kriminal-mafioso yang telah beranak pinak dan berperan sebagai the invisible hand dalam kehidupan bangsa dan tata penyelenggaraan pemerintahan negara kita.

Dalam gerak bersama untuk maju, hendaklah kita orang Dayak memperhatikan nasihat klasik berikut. Jangan terus menoleh ke masa lalu (kebiasaan atau tradisi) karena telah lewat; masa lalu hanya berguna sebagai guru kehidupan supaya saat ini dan nanti kita tidak mengulang kesalahan yang dibuat. Semua pengalaman masa lalu menjadi pelajaran hidup agar tindakan dan usaha di masa kini dapat berjalan lancar dan aman, sukses dan memberi nilai tambah. Masa lalu itu berwujud dalam adat istiadat, tradisi, kebiasaan, hukum adat, budaya dst. Maka diperlukan kajian kritis terhadapnya agar mampu menemukan hakikat atau intisarinya, sementara ekspresi luaran dapat disesuaikan dengan jaman.

Tataplah masa depan, meski belum terjadi, namun berguna sebagai motivasi dan energi untuk memacu diri. Namun penting disadari bahwa masa depan tidak pernah tiba, besok tetaplah besok dan tidak pernah menjadi hari ini. Maka, fungsi masa depan ialah sebagai penunjuk arah dan penuntun perjalanan bagi kekinian, yang mengandung pesan bahwa hidup manusia memiliki batas dan sekaligus tujuan yang mesti diraih. Masa depan itu digambarkan sebagai surga atau dunia para suci dalam beragam mitos kepercayaan religius orang Dayak.

Bila masa lampau telah berlalu dan masa depan tak pernah datang, maka berkonsentrasi, berfokus, berusahalah di masa kini. Masa kini merupakan ukuran dan kunci kehidupan. Manusia mengenal diri dan semua talenta serta batas kemampuannya ketika ia telah berusaha sekuat tenaga. Semboyan pedagogi tentang potensi diri manusia yang mesti diakualisasi dapat digambarkan demikian: benturlah kepalamu ke tembok. Jika tembok itu pecah berarti kepalamu kuat, bila kepalamu berdarah berarti tembok itu kuat.

Hidup di masa kini berarti berada dalam ketegangan antara belum dan sudah dan ketegangan berarti aktivitas, tindakan, usaha dan upaya untuk membuat yang belum menjadi nyata. Jadi, orang Dayak harus segera berubah dan berbenah diri, agar mereka tidak menjadi penonton, pengembira dan kaum marjinal papa-miskin-menderita di tanah airnya sendiri, tetapi menjadi pelaku dan pemeran utama dalam derap pembangunan terutama di bumi Khatulistiwa.

 Kesimpulan

Saat ini orang Dayak berhadapan dengan ilmu pengetahuan dan teknologi super canggih, para pendatang dari bemacam suku bangsa, IKN yang sedang dibangun dan segala dampak turunannya. Karena itu, saya mengajak orang Dayak untuk segera bangun, berusaha keras, berpikir cerdas, hidup berhemat, biasakan menabung, buatlah kalkulasi untung-rugi, baik-buruk, benar-salah, menjadi para pengayau pengetahuan dan teknologi, menjadi petarung sejati, percaya diri yang selalu rendah hati.

Orang-orang Dayak janganlah berpuas diri dengan mengerjakan ladang, berkebun sawit, menjadi penambang liar. Tetapi mari kita sekolah, ayo kuliah di kampus-kampus ternama, baik di dalam maupun luar negeri, supaya menjadi orang yang berpengetahuan sambil berpegang pada adat tradisi agar menjadi pribadi yang berkeutamaan.Kalau kita mau dan perhitungan, orang Dayak pasti mampu sekolah dan kuliah. Yakinlah bahwa kita dapat bersaing dengan siapa saja. Maka hindari putus sekolah, apalagi tidak mau sekolah.

Hidup bukanlah dagelan dan mainan. IKN bukanlah gula manis yang dinikmati semua orang atau orang baik yang penuh keramahan. Sama sekali bukan !!! Jangan sampai orang Dayak menjadi beban bagi bangsa ini dan lebih buruk lagi, menjadi korban pembangunan dan relokasi IKN, karena akan menjadi duri dalam daging bagi seluruh bangsa dan negara ini. ***